Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah organisasi kader yang lahir atas tuntutan
sejarah. Ia merupakan bagian integral dari potensi generasi muda Indonesia yang
menitikberatkan bidang garapannya pada pembinaan dan pengembangan pelajar dan
santri. Dua segmen tersebut merupakan pilar utama keberadaan IPNU yang harus
terus dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan tuntutan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat.Keputusan Kongres Surabaya yang mengembalikan IPNU ke
“habitat”nya adalah kesadaran akan sejarah yang penting. Hal ini karena IPNU
lahir atas tuntutan kebutuhan untuk menghimpun pelajar NU. Kebutuhan akan wadah
bagi pelajar NU tersebut sebenarnya sudah sejak lama dirasakan mendesak. Hal
ini sangat disadari oleh para pelajar pada saat itu, sehingga secara lokalistik
banyak berdiri IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA
Mandat, Sejarah,
Jatidiri, dan Tantangan IPNUperkumpulan pelajar yang berafiliasi dengan
Nahdlatul Ulama. Di antara organisasi pelajar itu adalah Tsamratul Mustafidin
yang terbentuk pada tanggal 11 Oktober 1936 di Surabaya, Persatuan Anak-anak
Nahdlatul Oelama (PERSANO), Persatuan Anak Moerid Nahdlatul Oelama (PAMNO)
tahun 1941; Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama (IMNO) pada tahun 1945, Ijtimaut
Tholabah Nahdlatul Oelama (ITNO) pada tahun 1946, dan Subbanul Muslimin yang
berdiri di Madura, serta masih banyak lagi yang lain.
Karena cakupan
yang sangat lokalistik tersebut, maka akan sangat sulit dicapai penggalangan
pelajar NU secara nasional. Sebab, dengan adanya perkumpulan-perkumpulan itu
masih banyak terjadi kesenjangan antara mereka yang berasal dari pesantren,
madrasah, dan sekolah umum, sehingga banyak mengalami kesulitan. Di samping bersifat
kedaerahan, gerakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut tidak
koordinatif. Akibatnya, tujuan gerakan yang dilakukan tidak dapat tercapai
secara optimal.
Gerakan-gerakan
organisasi pelajar ini baru terlihat menggeliat pada tahun 50-an dengan
berdirinya beberapa organisasi pelajar lain, seperti Ikatan Siswa Muballighin
Nahdlatul Oelama (IKSIMNO) pada tahun 1952 di Semarang, Persatuan Pelajar
Nahdlatul Oelama (PERPENO) di Kediri, Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama
(IPINO), Ikatan Pelajar Nahdlatul Oelama (IPNO) di Surakarta dan lain sebagainya.
Ikhtiar untuk terbentuknya organisasi pelajar NU pada level nasional terus
dilaksanakan. Baru pada acara Konferensi Besar Ma’arif Nahdlatul Ulama seluruh
Indonesia di Semarang, IPNU resmi diproklamasikan sebagai organisasi yang
mewadahi pelajar Nahdlatul Ulama. Proklamasi berdirinya Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) itu tepatnya dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 1954,
bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373. Pendirian organisasi itu dipelopori
oleh para pelajar yang datang dari Yagyakarta, Semarang dan Surakarta, PEDOMAN
KADERISASI IPNU seperti, M. Sofyan Cholil Mustahal, Achmad Masjhub dan A.Gani Farida
M Uda. Dalam Konferensi tersebut, di samping menyepakati berdirinya organisasi,
juga ditetapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat. Terpilih sebagai Ketua Umum adalah
Mohammad Tholchah Mansoer pada Muktamar (sekarang disebut Kongres) I yang
diadakan di Malang pada tanggal 28 Februari-5 Maret 1955, yang diikuti tidak kurang
dari 30 cabang dan beberapa utusan pesantren.
Muktamar ini
menjadi pijakan penting bagi IPNU karena di dalamnya terdapat salah satu
keputusan penting yaitu legalisasi organisasi. Pada perhelatan ini jugalah
IPPNU lahir, tepatnya pada 2 Maret 1955 (meski awalnya bernama IPNU Putri).
Beberapa bulan sebelumnya, gagasan terhadap pendirian organisasi pelajar NU
putri ini sudah bergulir. Hal ini karena IPNU hanya beranggotakan pelajar putra.
Oleh karena itu, beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah
Guru Agama (SGA) Surakarta, menggagas perlunya wadah bagi pelajar putri NU.
Akhirnya dibentuklah tim perintisan IPNU Putri pada kongres I IPNU di Malang
Jawa Timur. Selanjutnya disepakati dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri
yang hadir di Kongres Malang dinamakan IPNU Putri.
Dalam suasana
Kongres tersebut, nampaknya keberadaan IPNU Putri masih diperdebatkan secara
alot. Menyikapi hal itu, maka pada hari kedua kongres peserta putri yang hanya
diwakili lima daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang, dan Kediri)—terus
melakukan konsultasi dengan ketua PB LP. Ma’arif NU, KH. Syukri Ghozali dan
Ketua PP Muslimat NU, Mahmudah Mawardi.
Akhirnya pada
tanggal 2 maret 1995M/8 Rajab 1374 H IPNU Putri di deklarasikan. Pada hari itu
pula ditetapkan sebagai hari kelahiran IPNU Putri dan untuk menjalankan roda
organisasi, ditetapkan sebagai Ketua Umum pertama yaitu Umroh Mahfudhoh.
Selanjutnya Pimpinan Pusat memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian
IPNU Putri kepada PB LP. Ma’arif NU yang kemudian IKATAN PELAJAR NAHDLATUL
ULAMA Mandat, Sejarah, Jatidiri, dan Tantangan IPNU disetujui dengan merubah
nama IPNU Putri menjadi IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama).Pada era
itu Indonesia dilanda distabilitas politik. Kondisi ini disebabkan pertarungan
ideologi antarkekuatan partai politik dan diperparah dengan keterlibatan
militer dalam panggung politik.
Konflik politik
dan ideologi dalam pentas nasional di atas telah merembes pada semua organ
underbow parpol. Kondisi ini memaksa organ-organ muda pun terbelah dalam
pertentangan ideologis sesuai dengan afiliasi politik masing-masing. Garis
front kiri dan front kanan dalam organ kaum muda kian jelas. Perpecahan terjadi
antara GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dan Germasos. HMI berafiliasi ke Masyumi, GMNI ke
PNI, Germasos ke PSI, dan IPNU serta neven-neven NU lainnya berafiliasi ke
Partai NU.Dalam pergolakan itulah, IPNU terus meniti garis perjuangannya sambil
terus melakukan konsolidasi internal. Setelah berjalan dua tahun, Muktamar II
IPNU dan Muktamar I IPPNU diselenggarakan di Kota Batik Pekalongan pada 1-5
Januari 1957. Kebijakan-kebijakan strategis yang dirumuskan dalam muktamar ini
antara lain konsolidasi organisasi dan pengembangan cabang-cabang ke luar Jawa
dan pondok pesantren. Sejak muktamar ini, penataan organisasi dan pengembangan
cabang-cabang dicanangkan.Selanjutnya, Muktamar III dan II dilaksanakan di
Cirebon pada 27 Desember 1958 - 2 Januari 1959. Krisis politik dan ekonomi menjadi
salah satu bahan pembahasan. Pengembangan cabang masih menjadi prioritas. Juga
diputuskan penerbitan buku Panduan Organisasi, Administrasi dan Pola Kerja
Organisasi. Muncul gagasan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi sebagai
respons atas desakan pendirian IMANU. Kepengurusan hasil Muktamar Cirebon ini dalam
perjalanannya memiliki dinamika dan mencatat peran sejarah tersendiri. Salah
satu keputusan monumentalnya adalah IPNU telah PEDOMAN KADERISASI IPNUmembidani
lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organ khusus
mahasiswa di kalangan NU.
Dua tahun
setelah itu dilaksanakan Muktamar IV/III IPNU-IPPNU pada 11-14 Pebruari 1961 di
Yogyakarta. Dalam Muktamar ini, dihasilkan 9 Program Kerja dan Rekomendasi,
pemantapan pendirian PMII, penggantian istilah Muktamar menjadi Kongres, finalisasi
lambang IPNU dll. Kongres V/IV dilaksanakan di Purwokerto pada Juli 1963 masih dalam
setting instabilitas politik dan ekonomi. Situasi ini menuntut peserta kongres
memberikan respon dalam agenda-agenda sidang yang kemudian dijadikan sebagai
rekomendasi. Dalam kongres ini diputuskan peneguhan menyebutkan NU dalam IPNU
untuk selamanya. Hal ini dilakukan karena muncul gagasan kontroversial untuk
menghilangkan kata “NU” dalam akronim “IPNU”.
Kongres VI/V
dilaksanakan di Surabaya pada 20-24 Agustus 1966. penyelenggaraan kongres ini
berada di tengah situasi politik dalam negeri yang sedang panas-panasnya. Sebagai
respons atas situasi ini, IPNU mengkonsolidir “sayap militer”nya yaitu Corp
Brigade Pembangunan (CBP). Respons politik diberikan oleh IPNU-IPPNU bukah
hanya dengan pernyataan sikap, melainkan juga dengan aktif turun ke jalan.
Melalui Kongres ini dirumuskan penguatan organ dengan sebutan gerakan penguatan
ranting, perencanaan pelatihan, pembinaan kader dan sosialisasi Aswaja. Dalam
kongres ini pula IPNU-IPPNU merumuskan Sistem Pendidikan NU. Di samping itu,
juga diputuskan tentang pemindahan kantor pusat IPNU dari Yogyakarta ke
Jakarta.Kongres berikutnya, Kongres VII/VI diselenggarakan di Semarang pada
20-25 Agustus 1970. Kongres ini merupakan yang pertama dilaksanakan pada masa
Orde Baru. Selain berbagai keputusan internal, seperti ikrar tentang IPNU
sebagai satu-satunya organ santri dan pelajar NU, kongres juga memberikan
respons politik IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMAMandat, Sejarah, Jatidiri, dan
Tantangan IPNUterhadap perkembangan dalam atmosfir politik berkaitan dengan konsolidasi
Orde Baru yang mulai menunjukkan watak otoritarian-birokratiknya. Kongres ini
juga mengkritisi militerisme dan desakan menaikkan anggaran pendidikan sampai
25% dari APBN.
Kongres VIII/VII
diselenggarakan agak terlambat sebagai implikasi atas penjinakan yang dilakukan
oleh Orde Baru. Secara sistematis Orba melakukan pengebirian terhadap Ormas dan
meluncurkan kebijakan penyeragaman ideologi, depolitisasi dan deideologisasi.
Kongres yang seharusnya dilaksanakan pada 1973 itu baru dapat terlaksana pada
26-30 Desember 1976 di Wisma Ciliwung Jakarta. Selain penyempurnaan PD/PRT dan
perumusan Program kerja, pada Kongres ini juga dibangun aliansi strategis
antar-pelajar.Kongres selanjutnya adalah Kongres IX/VIII yang dilaksanakan di Cirebon
pada 20-25 Juni 1981. Kongres ini menghasilkan berbagai keputusan penting
menyangkut pola program organisasi, penguatan pelatihan, pengesahan Pedoman
Pengkaderan dll.
Setelah sempat
tersendat-sendat akhirnya IPNU-IPPNU berhasil menyelenggarakan Kongres X/IX di
Pondok Pesantren Mamba’ul Maarif, Denanyar Jombang pada 29-31 Januari 1988.
Kongres ini mencatat sejarah penting karena dalam perhelatan itulah, IPNU-IPPNU
terpaksa merubah singkatan menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama dan Ikatan
Putri-Putri Nahdlatul Ulama. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk
menyesuaikan dengan UU No.8/1985 tentang Keormasan. Melalui UU itu dan
sederetan peraturan lain, pemerintah melarang keberadaan organisasi pelajar
kecuali OSIS. Selanjutnya, Kongres XI/X diselenggarakan di Lasem Rembang pada
1992. Sebagaimana Kongres-Kongres sebelumnya, pada Kongres ini terjadi revisi
PD/PRT dan dirumuskan berbagai langkah strategis untuk memberdayakan pelajar
dan remaja pada umumnya. Setelah mengarungi perjalanan yang terjal dan berliku,
akhirnya PP IPNU dan IPPNU menyelenggarakan Kongres XII/XI di Garut, Jawa PEDOMAN
KADERISASI IPNUBarat pada 10-14 Juli 1996. Melalui kongres ini, periode
Pimpinan Pusat diubah dari lima tahun menjadi empat tahun. Usia maksimum yang
awalnya 32 tahun menjadi 35 tahun. Kongres ini berlangsung pada akhir kekuasaan
Orde Baru. Jaringan dengan berbagai organ lain dibangun pada masa kepengurusan
hasil kongres ini. IPNU-IPPNU juga ikut membidani lahirnya Forum Komunikasi
Pemuda Indonesia bersama PMII, GMNI, PMKRI, GMKI dan Hikmabudhi.Kongres
selanjutnya yaitu kongres XIII/XII yang dilaksanakan di Makassar pada 22-26
Maret 2000 dan dihadiri oleh Presiden Gus Dur.
Hal yang
monumental dalam kongres ini adalah lahirnya Deklarasi Makassar yang menguatkan
basis IPNU-IPPNU pada pelajar (siswa dan santri), dengan tetap menggarap remaja
usia pelajar pada umumnya. Setelah kongres ini, IPNU-IPPNU melakukan gebrakan dengan
mendirikan komisariat IPNU-IPPNU di sekolah, pesantren dan perguruan tinggi.Kongres
berikutnya yakni kongres XIV IPNU dan Kongres XIII IPPNU yang dilaksanakan pada
18-24 Juni 2003 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Kongres terakhir ini
menorehkan catatan sejarah mahapenting dalam perjalanan IPNU-IPPNU. Dalam
kongres inilah kegelisahan untuk kembali menjadi organisasi pelajar menemukan puncaknya.
Dengan dimotori oleh Jawa Tengah Kongres yang berjalan sangat alot akhirnya
berhasil mengembalikan IPNU-IPPNU ke khittah-nya. IPNU berubah menjadi Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama dan IPPNU menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama.
Babak baru
perjalanan IPNU-IPPNU dimulai. Keputusan untuk mengembalikan IPNU-IPPNU ke
pelajar dianggap menjadi pilihan yang terbaik di tengah perubahan dan
kompleksitas tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama. Paling tidak ada dua
alasan besar yang dapat dikemukan. Pertama, dari sisi kesejarahan, kembali ke pelajar
dianggap penting karena perubahan nama menjadi “Putra” dan “Putri-Putri” pada
tahun 1988 adalah kecelakaan sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar