ATLANTIK
Oleh : Prof. Dr. H. PRIYATNA
ABDURRASYID, Ph.D.
MUSIBAH alam beruntun
dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan
lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di
wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia
dan Atlantis?
Gambaran tentang Benua
Atlantis sepenuhnya bersumber dari Catatan Plato (427 – 347 SM) dalam dua
karyanya, yaitu Timaeus dan Critias. dalam bukunya yang diberi
judul Timaeus, Plato bercerita sangat menarik tentang Atlantis, Berikut
ini kutipannya:
“ Di hadapan Selat
Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat
pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang
dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis
baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan,
Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari
semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui
peradaban tinggi, lenyap dalam semalam.”
Terjemahan Latin
Timaeus, dibuat pada abad pertengahan.
Plato menyatakan bahwa
puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak,
menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan
sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang
hilang atau Atlantis.
Penelitian mutakhir yang
dilakukan oleh Prof. Arysio Nunes dos Santos, seorang atlantolog, geolog,
dan fisikawan nuklir asal Brazil, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah
yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun,
ia mempublikasikan hasil penelitiannya dalam sebuah buku : Atlantis, The
Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost
Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas
wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya
menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang
khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur,
Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks Indonesia
Bukan kebetulan ketika
Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui
UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan
bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah
nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional
1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah
negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam
puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos menetapkan bahwa
pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan
India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan
Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan
gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama
Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan
bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang
secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih
diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya
berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di
wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh
air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan dan gunung Semeru / Sumeru / Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan
gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang
merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat
di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera
dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis berasal dari
bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower)
,Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa
wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam
bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato
menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya,
ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean)
secara menyeluruh.
Ocean berasal dari kata
Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh.
Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti
Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Peta Atlantis menurut
Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally
Found terletak di Indonesia.
Santos berbeda dengan
Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada
saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es
mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur
berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya,
mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama
pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi
oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan
pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua
kekhilafan, pertama mengenai bentuk / posisi bumi yang katanya datar. Kedua,
mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang
ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik
terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh
karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus
Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi
saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa
keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni :
pertama, bahwa lokasi
benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai
wilayah Republik Indonesia.
Kedua, jumlah atau
panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci,
Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru,
Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif
kembali.
Ketiga, soal semburan
lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi
lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan.
Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible
barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in
navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam
kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh,
yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan
kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia adalah
wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita
bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional,
sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah
yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya
kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
mutakhir untuk dapat mengatasinya.